LIVE CHAT

https://tawk.to/chat/67b5bdddd0e263191249675d/1ikeura9t

Siasat Krom Bank (BBSI) Hadapi Digitalisasi hingga Likuiditas pada 2025


Sederet tantangan masih akan menyelimuti gerak industri bank digital pada 2025, di antaranya persaingan ketat hingga masalah likuiditas. Kuda-kuda pun disiapkan bank digital seperti PT Krom Bank Indonesia Tbk. (BBSI) pada tahun ini.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh bank digital adalah persaingan ketat. Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan persaingan bank digital pada 2025 diprediksi makin ketat dengan diferensiasi layanan berbasis teknologi yang lebih advance, seperti interkoneksi atau open banking, dan integrasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam personalisasi layanan keuangan.

Kondisi tersebut menuntut bank digital mesti menjalankan ragam inovasi agar bisa bersaing. "Ekosistem yang bakal disasar pun tidak hanya sebatas segmen unbanked dan underbanked, tetapi juga sektor gig economy, UMKM digital, serta transaksi lintas negara [cross-border payments]," ujar Arianto, Sabtu (15/3/2025).

Dengan ketatnya persaingan, aksi korporasi seperti akuisisi platform teknologi finansial (fintech), kolaborasi dengan e-commerce, dan penguatan modal melalui penerbitan saham atau rights issue diproyeksi semakin marak. "Hal ini guna memperluas jangkauan layanan dan memperkuat daya saing, terutama dalam menghadapi regulasi yang lebih ketat dan ekspektasi pelanggan yang kian tinggi," jelas Arianto.

Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan juga menilai tren persaingan bank digital akan masih ketat seiring dengan semakin banyaknya bank yang masuk ke industri digitalisasi bank.

Ekosistem yang akan disasar menurutnya masih banyak, seperti di seputar perkotaan serta menyasar pasar anak muda dan yang aktif dalam menggunakan gawai.

"Aksi korporasi bisa dijalankan, masih seputar akuisisi bank untuk memperluas pasar," tutur Trioksa.

Tantangan lainnya yang dihadapi bank digital adalah terkait ketatnya likuiditas. Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada tahun lalu, raupan dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh terbatas.

Pada Desember 2024, BI pun melaporkan bahwa simpanan masyarakat atau DPK di bank hanya tumbuh 3,7% secara tahunan (year on year/yoy).

Dalam catatan BI, pertumbuhan terbatas DPK mendorong bank berupaya untuk mempertebal pundi-pundi dana dari masyarakat dengan memberikan suku bunga tinggi. Terlebih, untuk simpanan jumbo, yakni di atas Rp2 miliar yang berkontribusi terhadap bantalan likuiditas bank secara signifikan.

Perburuan simpanan masyarakat dengan cara memberikan suku bunga tinggi ini terlihat dari kenaikan suku bunga DPK nominal besar yang berdampak pada peningkatan biaya dana sebesar 44 basis poin selama 2024. Meskipun, kenaikan suku bunga DPK pada 2024 belum menyaingi realisasi pada 2018—2019.

BI juga menilai ke depan, dinamika likuiditas masih ada. Namun, BI menyebut bahwa industri perbankan memiliki likuiditas yang memadai.

cu pada tes likuiditas industri perbankan pada persediaan aset yang tidak sedang dipinjamkan atau sumber pendanaan lain yang tersedia atau counterbalancing capacity. Industri perbankan dinilai mampu menghadapi potensi penarikan DPK dan penurunan dana masuk atau cash inflow di tengah kenaikan risiko pasar dan kredit.

Ketersediaan counterbalancing capacity industri perbankan terhadap total DPK diperkirakan masih berada pada kisaran 32% sampai dengan 41% sehingga dinilai masih cukup memadai.

Pada awal tahun ini, mengacu Survei Perbankan BI Kuartal IV/2024, BI memprediksi bahwa laju penghimpunan DPK bank masih akan melambat.

Perkiraan itu didasarkan pada perhitungan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) mengenai pertumbuhan DPK yang hanya sebesar 68,8% pada kuartal I/2025, menurun dibandingkan 89,3% pada kuartal sebelumnya.

"Perlambatan pertumbuhan DPK diprakirakan terjadi pada seluruh jenis instrumen,” demikian bunyi laporan BI.

Presiden Direktur Krom Bank Indonesia Anton Hermawan juga menjelaskan, walaupun industri perbankan digital menunjukkan prospek cerah pada 2025, terapi terdapat berbagai tantangan yang juga mesti dihadapi.

Pertama, terkait pengetatan likuiditas akibat daya beli turun. Pelemahan daya beli masyarakat yang terjadi sepanjang 2024 menjadi tantangan besar bagi perbankan digital di 2025, terutama karena dampak langsung terhadap likuiditas bank.

Minimnya kenaikan upah serta harga barang yang tetap tinggi mendorong nasabah menarik simpanan mereka, menyebabkan penurunan DPK dan perlambatan pertumbuhan kredit.

Dalam menghadapi tantangan ini, bank digital perlu menerapkan strategi inovatif, seperti menghadirkan produk pinjaman berbasis teknologi yang mempermudah akses kredit serta menawarkan deposito fleksibel yang lebih sesuai dengan kebutuhan nasabah.

Di sisi lain, kebijakan penurunan suku bunga BI yang telah dijalankan pada awal tahun ini dapat menjadi peluang bagi bank digital untuk meningkatkan permintaan kredit dan perlahan memulihkan daya beli masyarakat.

Kedua, persaingan suku bunga simpanan yang kompetitif menjadi tantangan bagi bank digital di 2025. Menurut Anton, suku bunga tinggi memang efektif dalam menarik nasabah, tetapi tanpa strategi berkelanjutan, hal ini dapat membebani struktur keuangan bank.

Untuk itu, menurutnya bank digital perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, mengombinasikan suku bunga menarik dengan inovasi produk dan layanan bernilai tambah.

Diversifikasi produk menjadi strategi utama untuk mempertahankan daya saing tanpa menimbulkan risiko likuiditas jangka panjang.


Posting Komentar

0 Komentar